Bagaimana Kisah #suksesmu?
Tidak pernah ada kata lelah untuk menimba ilmu bagi Kyai Muhammadun. Berasal dari keluarga sederhana, Muhammadun sedari kecil sudah didoktrin bahwa pendidikan, terutama pendidikan agama adalah hal paling utama.
Sehingga, meski kondisi pas-pasan, kedua orang tuanya rela menyekolahkan Muhammadun ke salah satu pondok pesantren terbaik. Yakni Ponpes Rohmaniyyah, Menur, Demak. Untungnya niat orang tua berbanding lurus dengan kemampuan akademik Muhammadun yang mumpuni. Dia bisa unggul secara akademik, bahkan menjadi salah satu santri kesayangan KH Maskuri bin Abdul Rohman.
Tujuh tahun dia habiskan waktu di pondok sembari menimba ilmu di MA Futuhiyyah, Demak. ”Jarak antara kedua sekolah lumayan jauh. Dengan jalan kaki waktunya sekitar 40 menit. Tapi karena sudah niat, ya dijalani dengan ikhlas,”
Namun saat sedang asyik-asyiknya menimba ilmu, ada satu peristiwa yang menggoncang batin Muhammadun. Sang kyai tercinta wafat pada tahun 1996. Saat itu dia berada di persimpangan. Mau meneruskan pendidikan atau bekerja untuk membantu orang tua. Sebab, saat itu kondisi ekonomi orang tuanya juga sedang tidak terlalu baik. Apalagi, masih ada 4 adik Muhammadun yang harus disekolahkan.
Setelah berpikir, akhirnya Muhammadun memilih menyelesaikan pendidikan lantas disambung dengan mencari pekerjaan. Beragam profesi sudah dia coba. Mulai dari kuli bangunan sampai tenaga marketing. Agar skill bertambah, dia juga mengambil les komputer.
Puncaknya pada 1999, pria kelahiran Demak, 12 April 1979 itu berhasil membuka usaha sendiri yang bergerak di bidang penerbitan dan percetakan. Namun, memiliki usaha sendiri bukan berarti batin Muhammadun lega. ”Hati saya rasanya gersang sekali,” katanya.
Karena itu Muhammadun akhirnya memutuskan mencari guru kembali. Selain di Jawa, dia juga berkelana ke Sumatera dan Sulawesi. ”Saya ingat pesan Kyai dulu, carilah guru yang akhlaknya seperti matahari dan ilmunya seperti padi,” ucap pria yang termasuk tokoh dalam program Retrospection of Success yang diinisiasi Wismilak Diplomat.
Akhirnya pencarian pun berakhir saat dirinya bertemu dengan Maulana Al-Habib Muhammad Luthfi bin Ali bin Yahya. Tidak hanya tiga tahun menimba ilmu langsung di Pekalongan, tetapi hingga kini pun, Muhammadun masih mengaji kepada beliau. ”Saya akan terus mengaji pada beliau,” katanya.
Setelah mendapat ilmu dari Habib Luthfi mulailah Muhammadun melakukan pengajian kecil-kecilan di rumahnya. Dari hanya diikuti 3 jamaah, kini jumlah jamaah yang hadir di pengajiannya mencapai ratusan orang. Menariknya, yang datang bukan saja mereka dari kalangan santri, tetapi juga mantan pembunuh, preman, dan pemabuk. ”Semua saya terima, yang penting mau mengaji bersama. Dari situ biasanya akan muncul keinginan bertobat.”
Bagi Muhammadun, Habib Luthfi adalah panutan. ”Beliaulah yang mendidik dan mentarbiyyah saya dengan penuh kasih sayang tiada terkira. Sehingga saya bisa membangun Ponpes Glagah Wangi yang namanya pun merupakan pemberian dari beliau,” katanya.
Nama Glagah Wangi yang disematkan oleh Habib Luthfi terinspirasi pada perjuangan seorang Sunan asal Demak.
Ketika ditanya arti kesuksesan, Kyai Muhammadun menjawab ketika sudah bisa menundukkan nafsu dan meninggal secara husnul khotimah. Kalau kamu, bagaimana kisah #suksesmu?